Rabu, 08 Juni 2011

Pak Harto: The Story Had Been Told


Mendengar Keluarga Cendana meluncurkan sebuah buku yang bertajuk; Pak Harto : The Untold Story, saya merasa tertarik untuk mengangkat tokoh ini sesuai dengan pengalaman hidup saya sebagai awamis (orang awam yang sok tau) dalam dunia politik di masa Orde Baru.
The Smilling General” begitu dunia menjulukinya (senyum Monalisa pun kalah populer), “Bapak Pembangunan” (teman saya yang bapaknya kuli bangunan pun tidak protes) nama itu juga melekat di hati rakyat Indonesia selama beliau berkuasa. Jenderal Soeharto memang seorang tokoh, negarawan  yang sangat fenomenal dan legendaris di Indonesia.
Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa memang banyak perubahan setelah melewati masa-masa sulit di masa Orde Lama. Pembangunan kian dirasakan oleh rakyat, perekonomian tidak terlalu terpuruk seperti sekarang (katanya orang lebih gampang mencari nafkah di masa itu).
Sesaat pikiran saya melayang ke masa saya sekolah di bangku Sekolah Dasar. Waktu itu sekolah di SD memang bayar namun tidak terlalu mahal untuk orang yang mampu pada masa itu. Tapi jika dibandingkan dengan jaman sekarang (Orde Reformasi) yang katanya sekolah SD itu “gratis” (ada dana “dari BOS”) sekolah di masa saya SD masih lebih baik daripada sekarang. Pada masa itu sekolah tidak banyak membebani orangtua siswa dengan hal yang “aneh-aneh”  seperti harus beli buku (sekolah meminjamkan buku untuk siswa “Gratis”), guru yang terkadang mewajibkan anak ikut les, mana harus bayar lagi (jaman saya sekolah guru memberikan les gratis asal kita mau datang ke sekolah aja padahal gaji guru PNS di masa itu...you know lah... ).
Gambaran di atas mungkin hanya sekelumit perbedaan yang saya rasakan dalam dunia pendidikan, masih banyak hal-hal lainnya yang membuat julukan “Bapak Pembangunan” bagi seorang Soeharto memang layak disandang. Seperti pembangunan jaringan irigasi pertanian. Dua belas tahun saya hidup di Garut, saya telah banyak melihat peninggalan-peninggalan pembangunan irigasi pertanian di Kabupaten Garut ini. Dan mungkin inilah yang membuat kita berhasil dalam berswsembada beras di masa itu. Tengok sekarang, yang katanya kita berhasil memenuhi kebutuhan beras dalam negeri sendiri namun kenyataannya masih banyak rakyat yang kelaparan (makan nasi aking dll), alih-alih swasembada beras kita malah impor beras pula dari negara tetangga (horas bah, habis beras makan gabah).
Mungkin masih banyak sisi positif yang ditinggalkan rezim Orde Baru. namun kita juga jangan lupa dengan sisi negatif di masa itu. Walaupun dalam gaya kepemimpinan yang diktatorial dan otoriter saat Soeharto berkuasa, menurut saya hal tersebut sah-sah saja bagi penguasa demi menjaga kredibilitasnya dalam memimpin suatu negara. Kebanyakan pemimpin diktator di dunia juga melakukan hal serupa seperti; dominasi militer, pemasungan kebebasan berpendapat, dll. Banyak aktivis-aktivis yang “vokal” di masa Orde Baru menjadi korban penculikan dan mereka yang berseberangan dengan penguasa masuk bui.  Dan jangan lupa rezim Orde Baru pula yang berjasa meninggalkan hutang luar negeri yang maha dahsyat yang konon katanya tujuh turunan delapan tanjakan bangsa kita masih belum mampu melunasi hutang-hutang tersebut. Yang pada akhirnya memicu terjadinya krisis ekonomi yang menumbangkan kekuasaan Orde Baru.
Akhir kata, jika saya disuruh memilih orde mana yang paling baik menurut saya, saya akan memilih orde setelah orde reformasi berakhir. Saya berharap ada kekuasaan baru yang dapat memperbaiki negara ini apapun namanya.
Garut,08/06/11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar